Padamulanya sebuah Puisi memiliki tipografi yang sesuai dengan konsensus yang dibuat pada masa Pujangga Lama, dalam perkembanganya sebuah puisi kemudian lebih variatif sesuai dengan zamannya. Sebuah puisi berkembang dapat dipengaruhi berbagai hal, misalnya dalam Pujangga Baru sebuah semangat zaman , lahir pada tahun 1933 dan 1942, dengan dilatarbelakangi Nasionalisme Indonesia. Dengan memngembangkan semangat Indonesia Modern yang bergaya barat, walaupun ‘Nasionalis’ tak terpisahkan dengan Indonesia . Kemunculan Pujangga Baru inilah yang mengantarkan perdebatan antara Armin Pane dan Sutan Takdir Alisyabana atau dikenal dengan STA. tentang pendirian Takdir yang bersikukuh menggunakan seni dengan didaktisme tetap berjalan, namun masih melanjutkan gema Neo Romantisisime Belanda abad ke Sembilan belas dan pendekatan Belanda dalam mengajarkan kesusastraan pada awal abad ke duapuluh, yang pada akhir tahun 1920-an sudah banyak dikenal.
Puisi Esai muncul di atas permukan, menjadi varian dari penulisan sebuah puisi. Pada mulanya sebuah Puisi Esai muncul dalam bentuk tulisan antologi sebuah komunitas, dimana Nenden sebagai editor. Kemudian pada tahun berikutnya muncul sebuah buku yang berjudul 33 Tokoh Sastra yang Berpengaruh yang mana banyak menimbulkan sebuah polemik, dalam dunia sastra. Saut Situmorang adalah salah satu sastrawan yang mem-pioniri petisi untuk menarik kembali buku tersebut dalam peredarannya. Hal ini didasari bahwasanya perbitan buku tersebut sangat kental dengan klaim assersif yang terlihat dalam judul buku yakni 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Menurut petisi tersebut buku 33 Tokoh tidak menunjukan kesuperlatifan pengaruh tokoh-tokoh. Kemudian Buku ini mencederai integritas asli sastrawan, serta masyarakat Indonesia, Buku 33 Tokoh juga dapat menjadi Presenden Buruk, dalam artian klaim Assersif yang dilakukan dapat menjadikan klaim-klaim yang tak bertanggung jawab yang sejenis.
Namun dalam perdebatanya, Denny JA tetap berkicau bahwasanya kebebasan dalam berpendapat adalah hak setiap orang. Seperti yang termuat dalam tulisan Prof Faruk HT yang mengomentari masalah petisi, dengan memberi judul “Argumen Basi. Buku lawan Buku, Korupsi lawan korupsi, Argumentasi Robinhood atau Maling Budiman”, Faruk memberikan pertanyaan retoris pada kalimat berikutnya, Apakah memilih dalam pemilihan umum merupakan bentuk pernyataan pendapat? Setiap orang berhak menyatakan pendapat kecuali dalam dua hal, yaitu adanya money politic atau tekanan dari pihak tertentu. Serta adanya manipulasi . pembredelan merupakan sebuah tindakan yang meningatkan kita pada stigmatisasi orba terhadap stigmatisasi PKI, semua yang dicap orba bisa saja nantinya akan ditangkap dan dijegal turun temurun.
Bagaimana Feedback Denny JA dalam menanggapi petisi tersebut. Dalam portal Berita.com Denny JA menuding penggiat sastra sebagai kaum pemalas. Tudingan ini ibarat seperti sebuah klaim yang didasari emosional pribadi terhadap petisi tersebut. Kembali melihat bagaimana track record yang melekat pada Denny JA adalah seorang intelektual dan aktivis, tradisi-tradisi yang dibangun para intelektual tidaklah mengeluarkan statemen tanpa dasar. pada poin 15 dalam balasan Deny JA, menyatakan bahwa kita sadar bahwa kaum facis tidak hanya dalam dunia politik namun dalam dunia sastra. sangat jelas satire yang dilontarkan Denny JA dalam mengeluarkan pendapatnya tentang petisi.
Sudah saatnya sebagai sebuah kaum elitis dengan beckground masyarakat yang bermacam-macam, misalnya sebagai seorang sastrawan, penggiat sastra, penyair, aktivis, kaum intelektual, tentunya menggunakan metode yang kooperatif dalam menanggapi masalah, bukan hanya rasa kekecewaanya dengan menuding “ini dan itu”.
Jika kita bembandingkan cerita-cerita tentang “pembredelan” buku yang yang dilakukan pada masa orba misalnya, atau buku-buku yang di cap komunis, yang terjadi dikemudian hari adalah sebuah pengulangan yakni gagalnya sebuah buku diedarkan. Namun setelah pergantian orde baru ke sebuah zaman reformasi mengembalikan buku-buku tersebut muncul ke permukaan. Seperti halnya novel Pramudya Ananta Toer. Sebuah puisi esai adalah sebuah embrio puisi Indonesia baru. Kalau kemudian yang dibredel adalah bukunya, yang akan terjadi adalah puisi berbentuk esai akan dinyatakan salah. Namun yang terungkap dalam petisi tersebut bukanlah sebuah pembredelan, akan tetapi untuk dievaluasi dengan jalan menguji kevalidan sebuah prinsip yang dipakai oleh para juri dalam mengeksekusi sebuah puisi esai dan ketokohannya.
Money politic Jalan Politik dan Politisasi dalam Sastra?
Kredebilitas Denny JA dalam menggawangi sebagai pelopor puisi esai memang dipertanyaakan, terbukti dalam pernyataan salah satu Tim 8 yang mengaku dibayar untuk membuat buku tersebut. Dan pengakuan Ahmadun Y Herfanda sebagai salah satu sastrawan yang masuk kedalam buku tersebut menyatakan dalam sebuah email kepada surah sastra yang termuat dalam portal info sastra, bahwasanya yang ia lakukan adalah pesanan Denny JA semata.
Proses kreatif seorang pengarang adalah sebuah usaha pengarang dalam menciptakan sebuah karya yang terlebelkan sebagai karya pengarang tersebut. Akan tetapi dalam kasus Denny JA, bagaimana jikalau yang terjadi seorang sastrawan menulis dalam tekanan “pesanan” dan tentunya dengan imbalan yang cukup besar? seorang pengarang, dalam pekerjaan secara ideologis mereka menciptakan sebuah karya yang lahir dari hasil buah pemikiran mereka, akan tetapi sebuah karya juga butuh diapresiasikan seperti yang dikatakan oleh Rane Wellek dan Austin, bahwasanya sebuah karya harus dinikmati agar tidak menjadi sebuah artefak semata. Begitu juga sebuah karya yang dibukukan. Buku menjadi sebuah sarana apresiasi agar sebuah karya dibaca oleh khalayak.
Terlepas tentang apresiasi karya sastra, polemik secara kronologis dalam kelahiran 33 Tokoh Sastra Indonesia Yang Berpengaruh, adalah sebuah usaha Denny JA untuk melegitimasikan dirinya sebagai seorang sastrawan. Dan melegitimasikan bahwa sebuah puisi esai yang dia tulis merupakan warna baru dalam sastra dan menjadikan dirinya sebagai pelopor, dengan menghadirkan beberapa penyair sastra kenamaan Indonesia.
catatan kaki :
- Keioth Foulcher. Pujangga Baru. Hal. 5
- Dalam Portal Berita Buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar