Selasa, 25 Maret 2014

Puisi Esai Dimana Rezimu Berada?


Padamulanya sebuah Puisi memiliki tipografi yang sesuai dengan konsensus yang dibuat pada masa Pujangga Lama, dalam perkembanganya sebuah puisi kemudian lebih variatif sesuai dengan zamannya. Sebuah puisi berkembang dapat dipengaruhi berbagai hal, misalnya dalam Pujangga Baru sebuah semangat zaman , lahir pada tahun 1933 dan 1942, dengan dilatarbelakangi Nasionalisme Indonesia. Dengan memngembangkan semangat Indonesia Modern yang bergaya barat, walaupun ‘Nasionalis’ tak terpisahkan dengan Indonesia . Kemunculan Pujangga Baru inilah yang mengantarkan perdebatan antara Armin Pane dan Sutan Takdir Alisyabana atau dikenal dengan STA. tentang pendirian Takdir yang bersikukuh menggunakan seni dengan didaktisme tetap berjalan, namun masih melanjutkan gema Neo Romantisisime Belanda abad ke Sembilan belas dan pendekatan Belanda dalam mengajarkan kesusastraan pada awal abad ke duapuluh, yang pada akhir tahun 1920-an sudah banyak dikenal.
Puisi Esai muncul di atas permukan, menjadi varian dari penulisan sebuah puisi. Pada mulanya sebuah Puisi Esai muncul dalam bentuk tulisan antologi sebuah komunitas, dimana Nenden sebagai editor. Kemudian pada tahun berikutnya muncul sebuah buku yang berjudul 33 Tokoh Sastra yang Berpengaruh yang mana banyak menimbulkan sebuah polemik, dalam dunia sastra. Saut Situmorang adalah salah satu sastrawan yang mem-pioniri petisi untuk menarik kembali buku tersebut dalam peredarannya. Hal ini didasari bahwasanya perbitan buku tersebut sangat kental dengan klaim assersif yang terlihat dalam judul buku yakni 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Menurut petisi tersebut buku 33 Tokoh tidak menunjukan kesuperlatifan pengaruh tokoh-tokoh. Kemudian Buku ini mencederai integritas asli sastrawan, serta masyarakat Indonesia, Buku 33 Tokoh juga dapat menjadi Presenden Buruk, dalam artian klaim Assersif yang dilakukan dapat menjadikan klaim-klaim yang tak bertanggung jawab yang sejenis.
Namun dalam perdebatanya, Denny JA tetap berkicau bahwasanya kebebasan dalam berpendapat adalah hak setiap orang. Seperti yang termuat dalam tulisan Prof Faruk HT yang mengomentari masalah petisi, dengan memberi judul “Argumen Basi. Buku lawan Buku, Korupsi lawan korupsi, Argumentasi Robinhood atau Maling Budiman”, Faruk memberikan pertanyaan retoris pada kalimat berikutnya, Apakah memilih dalam pemilihan umum merupakan bentuk pernyataan pendapat? Setiap orang berhak menyatakan pendapat kecuali dalam dua hal, yaitu adanya money politic atau tekanan dari pihak tertentu. Serta adanya manipulasi .  pembredelan merupakan sebuah tindakan yang meningatkan kita pada stigmatisasi orba terhadap stigmatisasi PKI, semua yang dicap orba bisa saja nantinya akan ditangkap dan dijegal turun temurun. 
Bagaimana Feedback Denny JA dalam menanggapi petisi tersebut. Dalam portal Berita.com Denny JA menuding penggiat sastra sebagai kaum pemalas. Tudingan ini ibarat seperti sebuah klaim yang didasari emosional pribadi terhadap petisi tersebut. Kembali melihat bagaimana track record yang melekat pada Denny JA adalah seorang intelektual dan aktivis, tradisi-tradisi yang dibangun para intelektual tidaklah mengeluarkan statemen tanpa dasar.  pada poin 15 dalam balasan Deny JA, menyatakan bahwa kita sadar bahwa kaum facis tidak hanya dalam dunia politik namun dalam dunia sastra. sangat jelas satire yang dilontarkan Denny JA dalam mengeluarkan pendapatnya tentang petisi.  
Sudah saatnya sebagai sebuah kaum elitis dengan beckground masyarakat yang bermacam-macam, misalnya sebagai seorang sastrawan, penggiat sastra, penyair, aktivis, kaum intelektual, tentunya menggunakan metode yang kooperatif dalam menanggapi masalah, bukan hanya rasa kekecewaanya dengan menuding “ini dan itu”. 
Jika kita bembandingkan cerita-cerita tentang “pembredelan” buku yang yang dilakukan pada masa orba misalnya, atau buku-buku yang di cap komunis, yang terjadi dikemudian hari adalah sebuah pengulangan yakni gagalnya sebuah buku diedarkan. Namun setelah pergantian orde baru ke sebuah zaman reformasi mengembalikan buku-buku tersebut muncul ke permukaan. Seperti halnya novel Pramudya Ananta Toer.  Sebuah puisi esai adalah sebuah embrio puisi Indonesia baru. Kalau kemudian yang dibredel adalah bukunya, yang akan terjadi adalah puisi berbentuk esai akan dinyatakan salah. Namun yang terungkap dalam petisi tersebut bukanlah sebuah pembredelan, akan tetapi untuk dievaluasi dengan jalan menguji kevalidan sebuah prinsip yang dipakai oleh para juri dalam mengeksekusi sebuah puisi esai dan ketokohannya. 
Money politic Jalan Politik dan Politisasi dalam Sastra?
Kredebilitas Denny JA dalam menggawangi sebagai pelopor puisi esai memang dipertanyaakan, terbukti dalam pernyataan salah satu Tim 8 yang mengaku dibayar untuk membuat buku tersebut. Dan pengakuan Ahmadun Y Herfanda sebagai salah satu sastrawan yang masuk kedalam buku tersebut menyatakan dalam sebuah email kepada surah sastra yang termuat dalam portal info sastra, bahwasanya yang ia lakukan adalah pesanan Denny JA semata. 
Proses kreatif seorang pengarang adalah sebuah usaha pengarang dalam menciptakan sebuah karya yang terlebelkan sebagai karya pengarang tersebut. Akan tetapi dalam kasus Denny JA, bagaimana jikalau yang terjadi seorang sastrawan menulis dalam tekanan “pesanan” dan tentunya dengan imbalan yang cukup besar? seorang pengarang, dalam pekerjaan secara ideologis mereka menciptakan sebuah karya yang lahir dari hasil buah pemikiran mereka, akan tetapi sebuah karya juga butuh diapresiasikan seperti yang dikatakan oleh Rane Wellek dan Austin, bahwasanya sebuah karya harus dinikmati agar tidak menjadi sebuah artefak semata. Begitu juga sebuah karya yang dibukukan. Buku menjadi sebuah sarana apresiasi agar sebuah karya dibaca oleh khalayak. 
Terlepas tentang apresiasi karya sastra, polemik secara kronologis dalam kelahiran 33 Tokoh Sastra Indonesia Yang Berpengaruh, adalah sebuah usaha Denny JA untuk melegitimasikan dirinya sebagai seorang sastrawan. Dan melegitimasikan bahwa sebuah puisi esai yang dia tulis merupakan warna baru dalam sastra dan menjadikan dirinya sebagai pelopor, dengan menghadirkan beberapa penyair  sastra kenamaan Indonesia.

catatan kaki :
  1.   Keioth Foulcher. Pujangga Baru. Hal. 5
  2.   Dalam Portal Berita Buku.

Sabtu, 22 Maret 2014

Gombalan Laki-Laki : Seorang Sahabat (Cuwilan Cerita Mata Elang): picisan

kita tidak akan pernah tahu siapa jodoh kita nanti. kapan? dimana? dan dengan siapa? satu tahun tidak perlu terburu-buru dalam menentukan orang baru. tentang siapa yang pantas dan siapa yang cukup kuat untuk menjadi kandidat anyway ini bukan sebuah kampanye politik untuk menjadi siapa akan memenangkan hati seorang perempuan. hehehe...
suatu ketika si Mata Elang kembali menyapa Mentari. dengan pengalaman yang sudah-sudah tidak mungkin Mentari tetap memihak kepada kebohongan/ketidak pastian/ dan yang pasti dengan orang yang memiliki banyak segudang pengetahuan, namun tidak punya tujuan yang pasti. hehe... Matanya masih sejatam dulu, tapi dia kembali bukan menjadi seorang yang sangat mempesona, yang membuat hatiku jedug-jedug. sekarang sih keadaan sudah berubah 180 derajat, bagaimana tidak? seorang wanita tidak bisa percaya dengan laki-laki yang in-konsisten.tapi bukan karena itu juga sih, banyak hal yang tidak bisa aku tuliskan disini terkait tentang Mata Elang. 
kali ini dia datang seperti orang yang membawa setumpuk bagasi yang isinya keluhan, yep Mentari hanya bisa menjadi teman curhat. tapi semakin kesini-semakin kesini Mata Elang mulai berani-beraninya menggombal, nggak di telfon, nggak di sms, nggak di BBM, nggak di Voice Note. berasa di hujani dengan peluru gombalan. 

Obrolan Semalam....
sepertinya Mata Elang, gak capek-capeknya menghujaniku dengan seribu gombalan. bahkan tawaran dinner di sebuah ressort  di daerah Batu Malang. ya ya ya... kalau sekedar ajakan dine bareng sih gak bikin melted, hanya saja sudah bikin blushing pipi-ku. ya namanya juga perempuan. hehe...
yang lebih anehnya lagi gombalannya itu lho pakai bawa-bawa Nabi Muhammad SAW. aduh jadi gimana gitu. yang pasti seorang nabi tidak bisa di generalisasikan seperti yang dia anggap. terlalu masif!!!

hemmm.... 
menurutku sih dia tetap menarik, walaupun ya sedikit alay dengan gombalan-gombalan bertajuk tausiyah. tapi aku sendiri lebih suka dia menjadi pelukis daripada rois :p xixixixi... lagian yang dia omongin selalu yang provant. ya gitulah.

Dia bilang, mungkin orang ngira i'm a bad boy, tapi mereka salah besar. ya ya selalu ada pembelaan terhadap diri sendiri. tapi selama aku jalan sama dia sih gak ada namanya Aku di-apa2in. yang ada aku malah dilindungin terus. jadi ingat waktu dia bantuin aku daftar di pascasarjana UB jurusan Sosiologi. yep, dia sudah seperti apa ya? ya gitulah.. orang yang gak tahu pasti ngiranya kita pasangan. yang pasti sih dia bikin nyaman. sampai sekarang... :) any way Mata Elang is Sobat bukan pacar :) 



*note : Lowbow-Kau Cantik Hari Ini (lagu yg selalu dinyanyikan Mata Elang)

Kamis, 20 Maret 2014

Jurusan Sastra Indonesia Bukan Lagi Jurusan yang Ecek-Ecek


Teringat pada saat pertama kali masuk di Universitas Airlangga dengan Jurusan pilihan pertama Sastra Indoensia, dan pilihan ke dua Ilmu Politik karena waktu itu ibu juga ingin anak-nya memilih jurusan yang sama dengan ibunya. setelah hasil tes keluar ternyata yang masuk adalah jurusan Sastra Indonesia, karena pada waktu itu memang peminat jurusan tersebut tidak sebanyak jurusan lain, pun juga dibandingkan dengan Ilmu Politik. 

Apa yang terjadi setelah masuk jurusan Sastra?

tentu saja pada saja pada saat masuk jurusa sastra, saya sendiri belum memikirkan akan bekerja apa? tapi dari beberapa teman yang masuk mempunyai pernyataan dan pertanyaan yang bermacam-macam pada diri mereka masing-masing. pertama, mungkin salah seorang mahasiswa akan beranggapan akan jadi apa setelah ini? "dulu saya ambil jurusan kedokteran gak masuk, malah sastra indosesia yang masuk?", kemudian yang kedua, sastra indonesia itu jurusan yang gampang biar cepat dapat ijazah terus daftar kerja di bank lebih mudah, anggapan yang ketiga, masuk sastra indonesia? " Aku sendiri juga gak tahu mau ngapain", dan yang terakhir ini anggapan seorang mahasiswa yang sangat idealis dan terbangun militansinya dalam kesusastraan indonesia, mungkin dari basic lingkungan keluarga atau given sebagai seorang sastrawan. 

hal itu mungkin yang terjadi dalam sebuah pernyataan-pernyataan dalam benak mahasiswa strata 1 atau biasa disebut mahasiswa S1. kita sendiri tidak bisa memaksakan sebuah kesenangan atau anggapan "benar" kita terhadap sesuatu. dengan kita melihat pernyataan-pernyataan mahasiswa seperti itu, dari pengalaman pertemanan Saya, setelah lulus kuliah toh mereka juga mendapatkan kesuksesan masing-masing. lulusan Sastra Indonesia banyak yang sudah bekerja. jadi jangan dianggap jurusan Sastra Indoensia itu tidak bisa bekerja dimanapun. memang, dalam kenyataanya dalam hubungannya pada lembaga pemerintahan formasi untuk lulusan sastra indonesia belum banyak dibutuhkan. tapi banyak juga lulusan Sastra Indonesia sukses melebarkan karirnya dalam Perbankan, salah satunya teman saya juga sekarang bekerja menjadi pegawai tetap CSO pada BCA. terus ada juga yang kemudian melanjutkan studi sastranya ke jenjang yang lebih tinggi, yakni S2 dan S3 dari situ bisa mengembangkan militansinya terhadap sastra Indonesia, baik jadi Guru/ Dosen/ Pegawai Negri Sipil. 

untuk yang saat ini menempuh pendidikan Sastra Indonesia jangan berkecil hati, karena lapangan pekerjaan dan kesempatan untuk mendalami kesusastraan masih terbuka lebar. bahkan sastra indonesia juga sama dengan jurusan-jurusan lain, yang memiliki kesempatan dalam bekerja dibidan non profesi apapun serta mendapatkan ruang bagi yang ingin menjadi akademisi. 

"Maju Terus Sarjana Sastra Indonesia!!!!!!"

                                                                                  Jogjakarta, 3/21/2014
                                                                                            
                                                                                         Mishilisme