Sabtu, 09 November 2013

FORMULASI SOSIOLOGI SASTRA MENURUT ALAN SWINGEWOOD



Pendahuluan

Sosiolologi merupakan sebuah cabang ilmu tentang interaksi manusia, sedangkan sosiologi sastra adalah ilmu yang menggambarkan hubungan antar manusia dalam tataran sosial namun masih dalam ruang lingkup sastra. Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingewood (1972) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya dikatakan, bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat bertahan hidup. Mengenai penelitian yang ketat mengenai lembaga-lembaga sosial agama, ekonomi, politik, dan keluarga, yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, sosiologi, dikatakan, memperoleh gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme, sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-individu dialokasikan pada dan penerima peran-peranan tertentu dalam struktur sosial itu.
Pernyataan Alan Swingewood diatas merupakan sebuah hubungan sosial, terkait satu sama-lain, antara individu-individu menerima lembaga sosial yang dianggap diperlukan dan benar. Sosiologi sendiri tidak sekedar membahas tentang keberlangsungan struktur sosial masyarakat serta interaksi, akan tetapi sosiologi juga membahas tentang adanya gejala-gejala perubahan sosial yang ada dalam masyarakat, baik secara individu maupun revolusioner. Akan tetapi, sosiologi memiliki berbagai teori dan metodologi, hal ini dikarenakan setiap teori sosiologi belum tentu sama bahkan bertentangan dengan kenyataan sosial yang ada. 
Pada dasarnya perkembangan sosiologi sastra sangat terlambat, kehadiranya didahului oleh sosiologi agama, sosiologi pendidikan dan sosiologi politik. Pendekatan sosial dijadikan sebgai pendekatan sastra sudah terjadi 5 masehi yang lalu oleh Plato. Kemudian munculah istilah sastra klasik bahwa sastra merupakan cerminan masyarakat. Namun tidak berhenti dalam pernyataan itu saja, dialektika tentang sosiologi sastra pun mulai berkembang tentang sosiologi sastra tidak hanya masalah sederhana, namun keterlibatan tentang penciptaan dan keterlibatan pengarang dalam kreatifitas dan imajinasi sebuah karya sastra. hal inilah adanya pengaruh politik dan ideologi didalamnya, sehingga adanya gambaran tentang karya sastra sebagai propaganda didalamnya.
Dalam buku Pengantar Sosiologi Sastra, Faruk (2012) mengutip dari Ritzer bahwasanya sosiologi sebgai ilmu pengetahuan yang meliputi paradigm. Maksudnya, didalam ilmu tersebut dijumpai beberapa paradigm, ritzer setidaknya menemukan tiga paradigm sebgai dasar sosiologi, yakni, fakta sosial, paradigm definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.
Beberapa hal tentang paradigm sosiologi sebagai ilmu murni menurut Faruk (2012) belum menjelaskan sepenuhnya kompleksitas sosiologi. Dengan masih adanya persaingan antara teori konflik, terjadi perdebatan yang kompleks. Kompleksitas inilah yang dianggap Alan Swingewood belum bisa mnejelaskan sosiologi sastra. Oleh karena itu ada beberapa hal yang menarik, yang akan ditawarkan oleh Alan Swingewood mengenai sosiologi sebagai pendekatan sastra.

Sekilas Tentang Alan Swingewood

Alan Swingewood adalah akademisi sosiologi di sekolah ekonomi dan politik di London. belum ada biogrfi yang menjelaskan secara spesifik tentang Alan Swingewood. Akan tetapi Alan telah menerbitkan buku-buku sosiologi besar dan diantaranya adalah bukunya untuk dunia sastra yang berjudul Sosiology of literature.



Penjelasan Sosiologi Sebagai Teori Sastra menuju Pemahaman Swingewood

Seperti kebanyakan sosiologi, sosiologi sastra telah membedakan keragu-raguan dalam sejarah. Ini sesuai dengan model hari ini untuk menganggap sejarah seperti disiplin ilmu kebanyakan, terutama jika menengok kembali Sembilan belas abad yang lalu, sebagai sesuatu yang sudah tidak relevan lagi. Namun kita harus beragumentasi lain tentang sejarah munculnya sosiologi sebagai teori sastra. pada perbedaan waktu dan perbedaan penulis. Dari berbagai tanggapan mengenai itu dapat dilihat lagi sebagai hasil dari ideologi sebagai ilmu yang belum matang.
Pada awalnya, mendapatkan perlakuan yang sistematis tentang hubungan diantrara sosial dan sastra, menurut filusuf dan kritikus Hippolyte (1828-93), dia bukan satu-satunya yang beranggapan bahwa sastra adalah seni imajinatif: konsep Plato, imajinasi mengimplikasikan pandangan tentang sastra sebagai refleksi sosial, telah berada didalam pemikiran sosiologi.
Sastra merupakan bagian dari budaya, dimana peranannya merupakan sebuah produk yang dihasilkan oleh manusia yang memeproduksinya. Dalam kesuastraan bahasa adalah bahan utama yang ada dialamnya. Sebuah karya sastra merupakan sebuah cerminan terhadap masyarakat, hal ini lah yang melatar belakangi sosiologi menjadi pendekatan sastra. 
Alan Swingewood dalam mempostulasikan sebuah teorinya mengenai sosiologi tak terlepas dari beberapa tokoh-tokoh lain. Diantaranya adalah Emil Durkheim, dalam jurnal Puitika terbitan UGM Yudi menuliskan, secara umum sosiologi dapat dikatakan sebagai telaah obyektif tentang manusia dan masyarakat mencakup proses-proses sosial yang ada didalamnya. Disiplin ini tentu saja menempatkan segala fenomena sosial sebagai bahan kajian yang harus diurai secara ilmiah, meliputi; pola kebudayaan, ekonomi, bahasa, sastra, dan lain-lain. Dari proses ini maka akan dapat diketahui bagaimana individu berinteraksi  terhadap sosialnya sehingga dapat ditrima dalam prilaku tertentu. Sehingga secara ringkas dapat dipahami sebagai disiplin yang bertujuan untuk mengkaji prilaku manusia, pembentukan satu struktur sosial dan kesepakatan bersama dalam ekonomi, politik, budaya dan lain-lain (Durkheim, 1958:24-27). Dengan demikian sosiologi dapat diartikan sebgai sebuah  ilmu yang mempelajari prilaku serta perubahan manusia. Begitu juga dengan sebuah karya sastra adalah deskripsi miniature dari masyarakat. Hal ini lah yang mendasari bahwasanya sastra mesrupakan sebuah produk masyarakat.
Dalam kedudukanya sebagai sesuatu yang berdialog dengan dunia diluar dirinya, karya sastra diangnggap sebagai sosio kritik, dengan perbagai sudut pabdang, bermunculan tokoh-tokoh sosiologi sastra diantaranta George Lukack, Loui De Bonald, Madame de Steal, Robert Escarpit, Taine, Diana Laurenson dan Alan Swingewood.
Alan Swingewood adalah sosiolog pasca-Marx dan Engels, sebelum kemunculannya, kedua tokoh tersebut sudah mendalilakan tentang kehidupan manusia dari basis material. Communist Manifesto (1820), tentang perjuangan kelas masyarakat. Buku tersebut banyak menyuarakan bahwasanya kapitalisme yang dikuasai oleh pemodal merupakan sebuah momok bagi kaum ploretarian dan buruh. Kemudian munculah revolusi industri, dimana sebuah kekuasan atau kekuatan besar yang dinamakan feodal dihancurkan oleh kaum pekerja. Hal inilah kemudian juga mempengaruhi munculnya karya-karya sastra yang berbau propaganda untuk resisten terhadap feodalisme. 
Dalam buku Althusser (2005) dalam bukunya yang berjudul For Marx Radical Thinker, terdapat tulisan Marx yang matang yang berjudul The German Indology, dikatakan bahwa hubungan antara karya sastra dan struktur ekonomi sosial adalah ‘Arts as ideology has no autonomy’ hal inilah yang kemudian dikenal bahwa karya sastra itu memiliki konsep deterministk, yang artinya “terbatas”, secara umum pemikiran ini berpendapat bahwa kehidupan dan prilaku manusia ditentukan oleh ekonomi, sosial, dan keagamaan. kemudian munculah anggapan bahwa kritik Marxis menyediakan deskripsi tentang bagaimana karya sastra merefleksikan sebuah kesadaran atau ketaksadaran sebuah kelas yang dituangkan dalam karya, dimana pengaranglah yang mendapatkan peran didalamnya.
Karya sastra diposisikan sebagai cerminan langsung dari berbagai struktur sosial, hubungan kekeluargaan, konflik kelas, dan lain-lain. Swingewood sebagai tokoh yang muncul pasca Marx dan Engels berpendapat bahwa suatu karya sastra merupakan penghubung imajiner dalam sebuah novel terhadap suatu keadaan yang diciptakan oleh pengarangnyaberdasarkan asal penciptaanya. Begitu juga dengan Lawenthal mengatakan bahwa karya sastra merupakan persoalan masyarakat yang ditulis kemudian dibaca oleh masyarakat. Hal ini kemudian mendorong gerakan-gerakan karya sastra. penerimaan karya sastra dalam masyarakat dan pola budaya yang dipilih agar mempengaruhi minat masyarakat untuk membaca karya sastra tersebut (Singewood, 1972:43-48).
Taine dalam Swingewood, juga membicarakan tentang posisi karya sastra melalui tiga konsepnya; race, moment, dan milieu. Taine berpendapat bahwa karya berkaitan erat dengan sikap bawaan, intertektualitas dan semangat jaman, serta kondisi cuaca dan geografi karya sastra diciptakan. Interaksi ketiga hal ini melahirkan ‘struktur mental’, dan menjelaskan ‘germinal ideas’ (awal mula ide) satu abad atau era tertentu yang terekspresikan dalam seni atau satra yang agung (1972: 30-38)
Sosiologi adalah studi objektif dalam massyarakat, institusi, dan proses sosial yang dilakukan untuk mengetahui keberadaan dan pola kerjanya. Karya sastra, seperti halnya sosiologi, juga membicarakan tentang kehidupan manusia, cara beradaptasi, dan keinginannya untuk berubah. Akan tetapi sebagai produk estetis, karya sastra tidak dapat dimaknai  keseluruhan sebagai fakta sosiologis. Semata. Karya sastra melampui sekedar deskripsi ilmiah objektif. Ia mampu menembus permukaan sosial, bahkan menunjukkan pengalaman hidup individu diekspresikan disuatu kelompok.
Hal ini juga menjadi ketidak beruntungan sebuah perhitungan ilmu pengetahuan dan penelitian yang mana eksistensinya pada kualitas yang sangat meragukan, kaku, Banal dalam kukualitas sosiologi ‘pengetahuan’ dan kurangnya wawasan diantara teks sastra dan sejarah sosial.
Berkaitan dengan masyarakat, Swingewood memberikan tiga konsep dalam sosiologi sastra, yakni; sastra sebagai cermin jaman, sastra dilihat dari proses produksi dan kepengaranganya, dan sastra dalam hubunganya dengan sejarah.

Karya Sastra Adalah Cermin Sosial

Sebuah karya sastra, bukan hanya menyajikan sebuah bahasa yang indah seperti apa yang dikatakan kaum formalis rusia, namun sastra adalah sebuah dokumentasi sejarah, sastra juga sebgai refleksi sosial. Untuk melihat suatu fenomena tertentu, dokumentasi sastra bisa menjadi tempat untuk membuka hasil dari dokumentasi sastra, suatu prilaku dalam masyarakat tertentu, juga bisa terlihat didalamnya. Begitu juga Alan Swingewoon mengatakan dalam bukunya, mengutip Standhal bahwasanya sastra adalah sebuah cermin.
At the present time it’s possible to characterize two board approaches to a sociology of literature. The most popular perspective adopts the documentary aspect of literature, arguing that it provides a mirror to the age. (Swingewood, 1971:13)
Cermin adalah sebuah refleksi diri, begitu juga dianalogikan terhadap sebuah karya sastra merupakan sebuah pantulan dari refleksi masyaraka. Masih dalam buku Alan Swingewood Sosiology of Literature, kemudian mengutip pernyataan dari Louis de Bonald (1754-1840):
Louis was one of the first writers to argue the trough a careful reading of any nation’s literature ‘one could tell what this people had been’ (singewood, 1971:13)
Jika meelakukan close reading dalam sebuah karya sastra, maka akan mengetahui tentang prilaku masyarakat dalam sebuah karya. suatu prilaku masyarakat tertentu atau kejadian dalam masyarakat dapat terekam dalam sebuah karya. Hal ini lah kenapa kemudian sebuah karya menjadi sangat penting sebagai dokumentasi. Lebih jauh lai Swingewood menyatakan bahwa karya sastra bukan hanya sekedar sebgaia cerminan masyarakat, lebih luas lagi merupakan sebuah cermin dari struktur sosial, hubungan kekeluargaan, trend yang muncul, serta konflik kelas.
Sastra sebagai dokumentasi sosial, bagaimana peranan sastra dalam masyarakat dapat menjadi arsip sejarah, namun tidak semua orang bisa menjadikan sebuah karya sebagai sumber sejarah. Bahkan seorang sosiolog atau peneliti mampu menggunakan sastra sebagai dokumentasi sosial. Hanya sebagian orang yang mengetahui tentang struktur sosial dalam sebuah sastra yang mampu mengaplikasikan fenomena sosial kedalam sastra sebagai dokumentasi.
Sastra sebagai sebuah karya bebas, tidak dipungkiri bahwa karya sastra juga mengingkari semangat zamanya, misalnya saja sebuah karya sastra hadir damun secara historis berbeda dengan fakta sejarah yang ada, hal ini bisa jadi terjadi pada sebuah karya, karena terdapat campur tangan pengarang yang memberikan nilai estetik didalam sebuah karya. Namun, bisa saja terjadi dalam fakta sejarah terdapat sebuah otoritas sebuah kekuasaan tertentu untuk tidak menghadirkan fakta tersebut, namun karya sastra sastra dapat mengungkapkannya melalui sebuah cerita.
Tentang mewakili atau tidak sebuah karya terhadap realita sosial, Alan Swingewood mengungkapkan bahwa, tidak menyederhanakan semesta sosial ke dalam tema deskripsi yang luas, melainkan lebih pada tugasnya untuk melakukan kritik dan menciptakan ‘takdirnya sendiri dalam menemukan makna dan nilai sosial. Masyarakat dapat diibaratkan sebagai subjek sosial yang mengkonstruksi sebuah struktur sosial, hal ini meliputi; norma, standar tingkah laku agar seorang dapat diterima oleh orang lain, dan nilai yang secara sadar diformulasikan dan disadari untuk dipatuhi secara sosial.
Balzac dan Gissing dalam buku Alan Swingewood menyatakan, tema devaluasi nilai pokok abad 19, “kebenaran” daro sastra agung dan kelompok-kelompok sosial bersandar pada kemanusiaan. Yakni, kebutuhan interaksi dan menuangkan pendapat, sehingga tugas sosiolog bukan sekedar menemukan refleksi sosial dan historis karya sastra, melainkan juga menafsirkan berbagai nilai yang tertanam didalamnya, yang oleh Raymond William disebut dengan “Structur of feeling”.
Alan Swingewood juga menegaskan bahwsanya terjadinya sebuah perubahan sosial, memiliki pengaruh terhadap sebuah karya sebagai cerminan sosial. Karena berbagai macam masuknya budaya massa. Hal ini akan menambah khazanah karya sastra sebagai refleksi sosial.

Kepengarangan dan Produksi

Pendekatan tentang kepengarangan dan produksi adalah sebuah pendekatan yang sering disebut2 dalam kajian sosiologi sastra. dimana dalam sosiologi sastra pengkajian tidak selalu dengan teks sebagai suatu yang besar dan harus dikaji, namun masyarakat diluar teks sperti pengarang dan produksi adalah suatu bagian yang penting bagi pengkaji sosiologi sastra. Alan Swingewood menyebutkan bahwa pendekatan ini dipindahkan dari pembahasan karya sastra ke pembahasan prosuksi karya sastra, khususnya situasi pengarang. Setelah memasuki era industri, fenomena pasar yang memudahkan pengarang mendapatkan royalti kemudian melemahkan sastra sebagai sebuah karya yang menyimpan banyak nilai didalamnya.
Selera pasar dan permainan kapital menciptakan keberjarakan dan alienasi antara konten sastra dengan gejala yang ada dalam masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan sebuah karya menjadi layu peranya, akibat pasar. Seorang pengarang menciptakan sebuah karya tak lagi sesuai dengan idealism sebagai kepengaranganya, namun menjadi pesanan pasar karena banyaknya permintaan terhadap karya tertentu.
Tapi dalam mengkhususkan kelas bawah, buku-buku yang dianggap murahan diterbitkan, penulis hanya memaksakan sebuah karya mengikuti selera pasar demi royalty saja. Sastra hanya bernilai dari sebuah penjualan. 



Sejarah dan Karya Sastra

Sejarah dan karya sastra seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahjan. Dimana keberlangsungan sejarah yang terjadi pada masa silam terekam dalam sebuah karya sastra. sastra memiliki tempat sebagai media pengarang menyalurkan keresahan-keresahanya pada masa lampau dalam bentuk sastra.
Dalam sejarah kelas telah banyak mempengaruhi karya sastra dan menjadikanya besar. Swingewood , mengungkapkan fakta Lowenthel yang membeberkan keberhasilan Doestovsky (1880-1920) mengeliminasi kelas atas dan kealas menengah dalam ideology ‘aneh’ menurutnya tema besar yang mempengaruhi kesusastraan Jerman adalah irasionalitas Doestoevsky yang berkembang kearah bisnis dan masyarakat kapitalistik. Apabila ekonomi dan struktur politik telah berkuasa dan masuk kedalam sendi-sendi manusia, maka yang terjadi adakah kompetisi antar manusia . dalam perkembanganya hal ini lah yang menyebabkan tidak adanya kritik. Dostoevsky dianggap sebagai anti intelektual, mistis, dunia lain, dan berlawanan dengan idealism sosialisme. Hal ini lah yang dikatakan Lowenthel bahwasanya novel yang ditulis oleh Dostoevsky terdapat gejala anti intelektualitas dan melakukan perlawanan terhadap  sosialisme-Nazi.
Lawenthel menyimpulkan bahwa para senuman memotret realitas lebih dari realitas itu sendiri. Menurut Richard Hoggart, Literature and Society (1966). Sastra agung menembus lebih dalam pengalaman manusia karena kapasitas sastra itu tidak hanya melihat pergerakan individu, akan tetapi jauh lebih dalam melihat gerakan-gerakan dibahwah yang muncul. Sastra mampu menyatukan ketidak samaan sebuah pola masyarakat ibarat menempatkan magnet diantara serpihan besi. 
Menurut Swingewood, inis sangat menarik sekali untuk dicatat dalam poin sosiologi sastra dan kritik sastra adalah persetujuan: satu studi tentang pengarang besar dan teks mereka dengan tepat karena yang besar mengimplikasikan lebih mendalam lagi mengenai wawasan kedalam kemanudiaan dan kondisi sosial (1972:22). Alan menyebutkan “Greatness” dalam tulisannya swingewood meminja Lawenthal bahwa karya sastra mencakup nilai dan symbol fundamental yang menyediakan kohesi kelompok-kelompok yang varian dan berbeda.

Bagaimana Sosiologi Sastra Menurut Alan Swingewood?

Sastra adalah ilmu yang menempatkan masyarakat diluar dirinua. Hal ini lah yang menyebabkan sastra atau sebuah karya sastra memberikan kontribusi yang besar terhadap masyarakat, diantaranya sbg produk yang dihasilkan masyarakat dan memberikan manfaat bagi sekelompok masyarakat yang menghasilnya. Hubungan ini, antara sastra dan masyarakat memberikan simbiosis satu sama lain.
Sosiologi sastra lahir dari sebuah kekosongan budaya. Karya sastra dapat mencerminkan suatu kebudayaan tertentu. Karena sastra sebagai representasi suatu kebudayaan tertentu. Terkait apa yang telah diungkapkan di atas, Swingewood memiliki pendapat bahwa karya sastra bukan artefak, melainkan hasil proses dialektika pemikiran. Sehingga, pengarang memiliki ruang yang luas untuk memainkan kepekaannya terhadap perasaan dan pengalaman melalui karyanya. Hanya saja sastra bukanlah cerminan langsung dari suatu realitas sosial masyarakat. Dalam hal ini pengarang memiliki ruang-ruang kosong untuk mengurangi atau menambahkan estetika sebuah kebenaran.
Swingewood menawarkan tiga konsep sosiologi sastra, yakni seorang peneliti dapat memetakan fenomena masyarakat dalam linearitas genetisnya sekaligus menemukan keberpihakan suatu karya tersebut. Ketiga konsep ini kemudian digunakan bersamaan dengan objek material yang sama, hal ini untuk melihat apakah suatu karya sastra tersebut merefleksikan kondisi sosial suatu masyarakat atau sudah dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan proses produksinya. Dalam artian suatu karya murni mencerminkan suatu keadaan sosial atau mungkin sebuah karya menjadi suatu tuntutan kepentingan atas kuasa dan sebagai produksi masa.  


Daftar Pustaka
Faruk.2012.Pengantar Sosiologi Sastra.Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Swingewood, Alan. 1972. The sociology of Literature. Paladine
Althusser, Louis.1970. Reading Capital.Paris :NLB.
















7 komentar:

  1. halo, itu pemahaman swingewood dari buku " the sociology of literature" ya ?
    dan saya mau tanya emang gak ada terjemahan indonesia buku " the sociology of literature" ?
    terimakasih
    mohon bantuan karena saya lagi menganalisis teori swingewood untuk skripsi saya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih sebelumnya,pemahaman dan perkembangan swingewood untuk teori sosiologi sastra di buku dalam bahasa indonesia ada gak :) ?

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Ada... Tp dia tdk membahas keseluruhan ttg swingewood... Hanya sekedar kutipan. Kau mau bahas apa??? Mgkn bs ngobrol by email mihsilisme@gmail.com sy jarang mengunjungi blog ini lagi soalnya.

    BalasHapus
  4. Mau tanya, kalau kekurangan teori swingwood itu sendiri apa ya mba

    BalasHapus
  5. Saya mau nanya, apakah dalam pengaplikasian teori alan swingwood dalam karya sastra harus melalui 3 pendekatan? Atau bisa memilih satu saja?

    BalasHapus